MEMBANGUN KHAZANAH ILMU DAN PENDIDIKAN

Belajar itu adalah perobahan …….

Antara Perang Khandaq dan Hudaibiyah (bagia II)

Posted by Bustamam Ismail on October 3, 2010

Demikian  inilah  persiapan  kehidupan  sosial  yang baru yang dikehendaki oleh Islam untuk suatu  masyarakat  umat  manusia. Landasannya  ialah  mengubah  sama-sekali pandangan masyarakat itu akan hubungan  laki-laki  dengan  wanita.  Ia  menghendaki dihapusnya   segala   tanggapan   tentang  sex  (libido)  yang menguasai pikiran manusia selama ini,  dan  dalam  segala  hal menganggapnya   sebagai  satu-satunya  yang  berkuasa.  Dengan demikian yang dikehendaki  ialah  mengarahkan  masyarakat  itu sesuai  dengan  tujuan  hidup  umat  manusia yang lebih tinggi dengan tidak mengurangi kesenangan hidupnya, yaitu  kesenangan hidup yang  tidak  akan  mengurangi pula kebebasannya untuk berkeinginan – apalagi sampai akan  menghilangkan  kebebasan untuk  berkeinginan  ini  –  dan yang akan melahirkan hubungan manusia dengan  semesta  alam.  Dari  tingkat  hidup  mengolah tanah, dari tingkat hidup usaha perindustrian dan perdagangan, yang bagaimana pun, ke  tingkat  yang  lebih  tinggi,  setaraf dengan  kehidupan  orang-orang  suci,  dan  akan berkomunikasi dengan  cara  malaikat.  Puasa,  salat, zakat  yang  telah ditentukan  oleh  Islam,  ialah alat untuk mencapai taraf ini; yang  akan  mencegah   perbuatan   keji,   kemungkaran   serta pelanggaran.  Sekaligus  ia  akan  membersihkan  jiwa dan hati orang dari segala penyakit  menghambakan  diri  selain  kepada Allah,  disamping  memperkuat  tali persaudaraan antara sesame orang  beriman,  memperkuat  hubungan  antara  manusia  dengan segala yang ada dalam semesta alam ini.

A. Islam menyusun Masyarakat baru

Penyusunan  suatu  kehidupan  sosial  secara  berangsur-angsur sebagai suatu  persiapan  kearah  transisi  besar  yang  telah disediakan  oleh Islam bagi umat manusia ini, tidak mengurangi pihak  Quraisy  dan   kabilah-kabilah   Arab   lainnya   dalam menantikan  kesempatan  hendak  menghancurkan Muhammad.

Tetapi juga Muhammad tidak kurang pula selalu waspada. Cepat-cepat ia bergerak  untuk  menanamkan rasa takut dalam hati pihak musuh, bila dianggap perlu.

Itu sebabnya, enam bulan kemudian setelah Banu  Quraiza  dapat dihancurkan,  ia  sudah merasakan adanya suatu gerakan lain di sekitar Mekah. Terpikir olehnya akan membalas kematian Khubaib b. ‘Adi dan kawan-kawannya yang telah dibunuh oleh Banu Lihyan di Raji’ dua tahun yang lalu itu. Akan  tetapi  maksudnya  ini tidak  diumumkan, kuatir pihak musuh akan segera berjaga-jaga. Untuk dapat menyergap pihak musuh ia pura-pura pergi ke  Syam.

Dengan membawa perlengkapan perang ia berangkat menuju ke arah utara. Setelah yakin sekali bahwa Quraisy dan  sekutu-sekutunya  yang berdekatan  tak  ada yang menyadari maksudnya, ia pun membelok ke  arah  Mekah  dengan  berjalan  lebih  cepat  lagi.  Tetapi sesampainya  di  perkampungan Banu Lihyan di ‘Uran, masyarakat setempat telah melihatnya  ketika  pertama  kali  ia  menyusur jalan  ke  selatan.  Dari mereka inilah Banu Lihyan mengetahui bahwa ia menuju ke tempat mereka. Mereka pun segera berlindung ke  puncak-puncak  bukit  dengan membawa harta-benda yang ada. Nabi tidak sampai berhasil menyergap mereka.

Ketika itu ia lalu menugaskan Abu Bakr dengan membawa  seratus orang pasukan menuju ‘Usfan2 tidak jauh dari Mekah. Rasulullah sendiri kemudian kembali ke Medinah. Ketika  itu  panas  musim sedang sampai di puncaknya, sehingga Nabi berkata: “Yang kembali dan  yang  bertobat      jika  dikehendaki Allah kiranya    kepada  Tuhan  juga  kami   memuji   syukur.   Saya berlindung kepada Allah dari perjalanan yang sangat meletihkan ini, serta  kedukaan  karena  diri  kembali  dari  perjalanan3 dengan keburukan yang tampak pada keluarga dan harta-benda.”

B. Uyaina b Hishn menyerang pinggir kota Madinah

Baru   beberapa   malam  saja  Muhammad  kembali  ke  Medinah, tiba-tiba datang ‘Uyaina b.  Hishn  menyerang  pinggiran  kota itu.   Di   tempat   tersebut  ada  beberapa  ekor  unta  yang digembalakan, dijaga oleh seorang laki-laki dengan  isterinya. Laki-laki  itu  oleh  ‘Uyaina dan kawan-kawannya dibunuh, unta diambil dan perempuan itu dibawa. Mereka segera pergi dengan perkiraan  bahwa  mereka  telah  dapat menyelamatkan diri dari pengejaran. Tetapi sebenarnya Salama b. ‘Amr bin’l-Akwa’  yang sudah   lebih   dulu   memacu   kudanya  menuju  hutan  dengan bersenjatakan    panah    dan    busur,    ketika    melintasi Thaniat’l-Wada’  dan  menjenguk  ke bawah dari arah bukit Sal’ rombongan yang sedang menggiring unta dan membawa  wanita  itu dilihatnya.  Ketika  itu  pula  ia  berteriak  meminta bantuan sambil terus mengikuti jejak rombongan itu. Ia melepaskan anak panahnya  ke  arah mereka, setelah ia berada agak lebih dekat.

Dalam pada itu tiada henti-hentinya ia berteriak. Dan teriakan Salama itu akhirnya sampai juga kepada Muhammad. Maka kemudian ia pun memanggil-manggil penduduk  Medinah:  Ada  bahaya!  Ada bahaya! Seketika  itu  juga pahlawan-pahlawan kota datang dari segenap penjuru.  Setelah  mendapat  perintah  mereka  pun   berangkat mengikuti jejak gerombolan itu.  Dia  sendiri mempersiapkan pasukannya lalu berangkat  menyusul  mereka.  Ia  berhenti  di sebuah gunung di bilangan Dhu Qarad.

Sementara  itu  ‘Uyaina  dan  anak  buahnya  sudah mempercepat langkah,  ingin  lekas-lekas  bergabung  dengan Ghatafan  dan melepaskan  diri dari pengejaran Muslimin. Akan tetapi pasukan Medinah berhasil mencapai barisan belakang mereka. Sebahagian unta  itu  dapat  diselamatkan  kembali  dari  tangan  mereka. Kemudian Muhammad datang menyusul dan  memberikan  bantuannya. Wanita  beriman  yang  dibawa  oleh  orang-orang  Arab itu pun selamat pula.

Ada beberapa orang dari sahabat-sahabat Nabi,  terdorong  oleh rasa panas hati, ingin terus mengejar ‘Uyaina. Tetapi dilarang oleh Rasulullah, sebab sudah diketahuinya  bahwa  ‘Uyaina  dan anak  buahnya  sudah  sampai ke tempat Ghatafan dan berlindung kepada mereka. Bila kaum Muslimin kemudian kembali ke Medinah, isteri penjaga itu  pun  datang  pula  menyusul di atas seekor unta kepunyaan kaum Muslimin. Wanita itu sudah bernadar, bahwa kalau unta itu dapat  diselamatkan,  akan disembelihnya seekor sebagai kurban buat Tuhan. Tetapi setelah nadanya disampaikan  kepada  Nabi’

Nabi  berkata:  “Suatu  balasan yang buruk sekali, Tuhan sudah mengantarkan engkau dan menyelamatkan engkau dengan unta  itu, lalu  unta  itu  yang  akan  kausembelih. Nadar dengan berdosa kepada Tuhan tidak  berlaku,  juga  atas  sesuatu  yang  tidak kaupunyai.”

Sesudah  itu  Muhammad  tinggal  di  Medinah  hampir dua bulan sudah.  Kemudian  terjadi  suatu   ekspedisi   terhadap   Banu Mushtaliq  di  Muraisi’ – suatu ekspedisi yang telah dijadikan bahan studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah hidup Nabi. Soalnya bukan karena ekspedisi itu sangat penting, atau karena kedua belah pihak – Muslimin dan musuhnya  –  bertempur mati-matian  sampai  melampaui  batas, tetapi karena kenyataan adanya malapetaka yang kemudian hampir menjalar kedalam  tubuh

Muslimin  sendiri  kalau  tidak segera Rasul mengambil langkah yang sangat baik sekali, tegas  dan  meyakinkan;  juga  karena kemudian  Rasul  kawin  dengan  Juwairiah  bt.  al-Harith, dan karena ekspedisi ini telah  pula  menimbulkan  hadith’l-ifk  -peristiwa  kebohongan  –  tentang  diri  Aisyah. Peristiwa ini telah menempatkannya kedalam persoalan iman dan kekuatan  hati – sementara usianya masih enambelas tahun – sehingga segalanya tidak akan berdaya, hanya karena keagungan iman  dan  kekuatan hati itu jugalah.

Bahwa  kegiatan  Banu Mushtaliq – yang merupakan bagian dari Khuza’a  –  yang   telah   mengadakan   persepakatan   dalam perkampungan  mereka  di  dekat  Mekah, beritanya telah sampai pula kepada Muhammad. Mereka sedang mengerahkan segala potensi dengan  maksud  hendak  membunuh Muhammad dengan dipimpin oleh komandan mereka Al-Harith b. Abi Dzirar. Rahasia ini diperoleh Muhammad   dari   salah   seorang   orang  badwi.  Maka  iapun cepat-cepat berangkat sementara mereka sedang lengah,  seperti biasanya  bila ia menghadapi musuh. Pimpinan pasukan Muhajirin di tangan Abu Bakr dan pimpinan pasukan Anshar di tangan  Sa’d b.  ‘Ubada.  Pihak  Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah pangkalan air yang bernama Muraisi’, tidak jauh  dari  wilayah Banu  Mushtaliq. Kemudian Banu Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak yang tadinya datang  hendak  memberikan  pertolongan  sekarang mereka sudah lari. Dari Banu Mushtaliq sepuluh orang terbunuh’ dari  Muslimin  seorang,  konon  bernama  Hisyam  b.  Shubaba, dibunuh  oleh  salah  seorang  dari Anshar, yang keliru dikira dari pihak musuh.

Setelah terjadi sedikit saling hantam dengan  panah, tak  ada jalan  lain  buat Banu Mushtaliq mereka harus menyerah dibawah tekanan pihak Muslimin  yang  kuat  dan  bergerak  cepat  itu. Mereka  dibawa  sebagai  tawanan  perang,  begitu  juga wanita mereka, unta dan binatang  ternak  yang  lain.  Dalam  pasukan tentara  itu  Umar  ibn’l-Khattab  mempunyai orang upahan yang bertugas menuntunkan kudanya. Selesai  pertempuran  orang  ini pernah  berselisih  dengan salah seorang dari kalangan Khazraj karena  soal  air.  Mereka  jadi   berkelahi   dan   sama-sama berteriak.  Pihak  Khazraj  berkata: “Saudara-saudara Anshar!” Sedang  orang  sewaan  Umar  berkata  pula:   “Saudara-saudara Muhajirin!”

C. Abdullah b. Ubayy pemimpin Munafiq

Teriakan  demikian  itu terdengar juga oleh Abdullah b. Ubayy, yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang munafik  turut pula  dalam  ekspedisi  dengan  harapan  akan  beroleh  bagian rampasan perang. Dendamnya kepada pihak  Muslimin  dan  kepada Muhammad  segera  timbul.  Dalam  hal  ini  ia  berkata kepada kawan-kawannya:

Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin.  Penggabungan kita  dengan mereka akan seperti kata peribahasa: ‘Membesarkan anak harimau.’4 Sungguh, kalau kita sudah kembali ke  Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina.”

Kemudian  kepada  golongannya yang hadir waktu itu ia berkata: “Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu benarkan mereka tinggal  di  negerimu  ini, dan kamu bagi harta-bendamu dengan mereka. Demi Allah, kalau apa yang  ada  pada  kamu  itu  kamu pertahankan, pasti mereka akan beralih ke tempat lain.”

Percakapannya  itu dibawa orang kepada Rasulullah, yang ketika itu  baru  selesai   menghadapi musuh. Ketika   itu   Umar ibn’l-Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali. “Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya,” katanya.

Seperti  biasanya,  disini  Nabi  memperlihatkan sikap sebagai seorang  pemimpin  yang  sudah  matang,  bijaksana  dan  punya pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata: “Umar  bagaimana  kalau  sampai  menjadi pembicaraan orang dan orang mengatakan, bahwa Muhammad  membunuh  sahabat-sahabatnya sendiri?”

Akan  tetapi  dalam  pada itu ia sudah mempertimbangkan, bahwa soalnya akan jadi rumit  sekali  kalau  tidak  segera  diambil langkah  yang  tegas.  Oleh  karena  itu diperintahkannya agar diumumkan  untuk  segera  berangkat  dalam  waktu  yang  tidak biasanya  kaum  Muslimin  meninggalkan tempat itu. Berita yang disampaikan orang kepada  Nabi  itu  sampai  juga  kepada  Ibn Ubayy.  Cepat-cepat  ia  menemui  Nabi hendak membantah adanya berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia bersumpah atas  nama Tuhan,  bahwa  dia  tidak  mengatakan  dan tidak pernah bicara begitu. Tetapi ini tidak mengubah  keputusan  Muhammad  hendak meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga sore dan sepanjang malam hingga  pagi  harinya  lagi  terus-menerus  ia memimpin  perjalanan  itu  hingga  pada pertengahan hari kedua tatkala terik matahari sudah terasa sangat mengganggu.

Setelah sampai, karena sudah sangat lelah, begitu badan mereka menyentuh  lantai,  mereka  pun segera tertidur. Karena sangat lelah orang sudah lupa cakap Ibn  Ubayy.  Sesudah  itu  mereka pulang   ke   Medinah   dengan  membawa  rampasan  perang  dan orang-orang  tawanan  Banu  Mushtaliq,  diantaranya   Juwairia bint’l-Harith b. Abi Dzirar, pemimpin dan komandan daerah yang sudah dikalahkan itu. Kaum Muslimin sudah sampai di Medinah. Abdullah ibn Ubayy  pun sudah  di  sana. Ia sudah tidak pernah tenang, hatinya gelisah selalu, terbawa oleh rasa dengki kepada  Muhammad  dan  kepada Muslimin.  Pura-pura  ia  sebagai  orang Islam, bahkan sebagai orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah  berita  yang bersumber  dari  dia  ditujukan  kepada Rasulullah di Muraisi’ itu. Pada waktu itulah Surah Munafiqin ini turun:

“Mereka  itulah  yang  berkata:  “Jangan  memberikan   bantuan apa-apa  kepada  mereka  yang  di  sekitar  Rasulullah, supaya mereka berpisah.” Padahal  segala  perbendaharaan  langit  dan bumi   milik  Allah.  Tetapi  orang-orang  munafik  itu  tidak mengerti. Kata mereka: “Kalau kita sudah kembali  ke  Medinah, orang  yang  berkuasa  akan  mengusir  orang yang lebih hina.” Padahal sebenarnya kekuasaan itu  milik  Allah  dan  Rasul-Nya beserta  orang-orang  yang  beriman,  hanya  saja  orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (Qur’an, 63: 7-8)

D. Putra Abdullah b. Ubay memohon kepada Nabi UntukMembunuh  bapak yang munafiq.

Dengan  demikian  lalu  ada  orang-orang  yang  mengira  bahwa ayat-ayat  itu  merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubayy, dan Muhammad  pasti  akan  memerintahkan  supaya  ia  dibunuh. Ketika  itu  Abdullah b. Abdullah b. Ubayy, yang sudah menjadi seorang Muslirn yang baik, datang dengan mengatakan:

Rasulullah,saya mendengar tuan ingin  supaya  Abdullah  b. Ubayy  itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan itu kepada saya. Akan  saya  bawakan  kepalanya  kepada  tuan. Orang-orang  Khazraj  sudah  mengetahui,  tak  ada  orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya kuatir  tuan  akan  menyerahkan  tugas  ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan dapat  menahan  diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya membunuh  orang  beriman  yang membunuh orang kafir. Maka saya akan masuk neraka.”

Begitulah kata-kata  Abdullah  b.  Abdullah  b.  Ubayy  kepada Muhammad.  Saya  rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih dalam dari ucapannya itu dengan begitu kuat meskipun  singkat  dalam melukiskan  suasana  batin  yang  sedang  gelisah,  batin yang dibawa oleh pengaruh  pergolakan  yang  dahsyat  sekali  dalam jiwanya: gelisah karena pengaruh rasa berbakti kepada ayah dan pengaruh iman yang sungguh-sungguh disamping rasa  harga  diri sebagai  orang  Arab  serta  rasa  cintanya akan kesejahteraan Muslimin supaya jangan tirnbul dendam yang berlarut-larut.

Inilah  perasaan  seorang  anak  yang  melihat  ayahnya   akan dibunuh.  Dia  tidak  minta  kepada Nabi supaya ayahnya jangan dibunuh, sebab dia  Nabi,  dia  akan  tunduk  kepada  perintah Tuhan,  dan  yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena kuatir akan sampai menuntut balas kepada orang yang kelak akan membunuh  ayahnya  yang  diharuskan  oleh rasa baktinya kepada ayah dan oleh rasa  kehormatan  dan  harga  diri  –  maka  dia sendirilah  yang akan memikul beban itu, dia sendiri yang akan membunuh ayahnya;  kepalanya  akan  dibawanya  sendiri  kepada Nabi, betapapun itu akan sangat menyayat hati dan perasaannya.

Dengan  imannya  itu  ia  merasa  agak  mendapat  hiburan juga menghadapi hal luar biasa yang menekan perasaan itu.Ia kuatir akan masuk  neraka  apabila  ia  membunuh seorang mukmin yang telah mendapat perintah Nabi membunuh ayahnya.  Sungguh  suatu perjuangan  yang  sangat  dahsyat  antara  iman  di satu pihak dengan perasaan dan moral  di  pihak  lain.  Suatu  perjuangan batin  yang  sungguh  fatal  menghunjam ke dalam hati, sungguh tragis!  Tetapi,  tahukah  kita  betapa  jawaban  Nabi  kepada Abdullah setelah mendengar itu?

Kita  tidak  akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya,  harus  menemaninya  baik-baik  selama  dia   masih bersama dengan kita.”

Memaafkan.  Sungguh indah dan agung maaf itu. Muhammad berlaku begitu baik kepada orang yang telah menghasut penduduk Medinah supaya  memusuhinya  dan  memusuhi sahabat-sahabatnya. Biarlah sikap baiknya dan kemaafannya itu  memberi  bekas  yang  lebih dalam daripada kalau ia menjatuhkan hukuman kepada orang itu.

Sejak  itu  apabila Abdullah b. Ubayy mencoba mau bermain api, golongannya sendiri menegurnya, menyalahkannya dan  membuatnya ia  merasa  bahwa  sisa  hidupnya itu dari pemberian Muhammad.

Tatkala pada suatu hari Nabi sedang bicara-bicara dengan  Umar mengenai    masalah-masalah  kaum Muslimin, sampai   juga menyebut-nyebut  Abdullah  b.  Ubayy’  begitu   juga   tentang golongannya sendiri yang menegurnya dan menyalahkannya itu.

Umar,  bagaimana  pendapatmu,”  kata Muhammad. “Ya, kalau kau bunuh dia ketika  kaukatakan  kepadaku  supaya  dibunuh  saja, tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang kusuruh bunuh tentu akan kaubunuh.” Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah  Rasulullah  lebih besar artinya daripada perintah saya.”

Semua  peristiwa  itu  terjadi  setelah kaum Muslimin – dengan membawa tawanan dan rampasan perang – kembali ke Medinah. Akan tetapi  lalu  ada  suatu  peristiwa  yang  pada  mulanya tidak memberi bekas apa-apa,  tetapi  kemudian  menjadi  pembicaraan yang  panjang  juga.  Soalnya  ialah  Nabi  mengadakan  undian terhadap  isteri-isterinya  bila  akan  berangkat   mengadakan ekspedisi.  Barangsiapa  yang  keluar namanya maka dialah yang ikut  serta.  Sorenya  pada  waktu  mau  mengadakan  ekspedisi terhadap  kepada  Banu  Mushtaliq, maka yang keluar ialah nama Aisyah. Jadi dia yang dibawa.  Aisyah  adalah  seorang  wanita yang   berperawakan   kecil,   ringan.  Bila  pelangkin  sudah diantarkan orang sampai di depan pintu rumahnya, dia pun naik. Lalu  mereka  membawanya pada punggung unta. Karena ringannya, mereka hampir tidak dapat merasakan.

Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu, dengan rombongannya ia berangkat  lagi  meneruskan perjalanan yang panjang dan sangat meletihkan seperti sudah kita sebutkan. Sesudah itu ia  menuju Medinah.  Sampai  di  suatu  tempat dekat kota ia berhenti dan bermalam di tempat itu. Kemudian diumumkan  kepada  rombongan, perjalanan akan diteruskan lagi.

E.Aisyah ketinggalan dari rombongan

Karena  hendak  menunaikan  hajat,  Aisyah  ketika  itu sedang keluar dari kemah Nabi, sedang  pelangkin  sudah  menunggu  di depan  kemah,  menantikan  ia masuk kembali. Aisyah mengenakan seutas kalung yang ketika sedang  menyelesaikan  keperluannya, kalung  itu  lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan berangkat, dirabanya kalung itu sudah tidak  ada.  Ia  kembali menyusur  jalan  sambil  mencari-carinya.  Dan barangkali lama juga ia mencarinya, baru  kemudian  benda  itu  diketemukannya kembali.  Mungkin sementara itu ia terlena karena sudah begitu lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke markas  untuk kemudian  naik ke atas pelangkin, ternyata pelangkin itu sudah dipasang kembali di punggung unta dengan perkiraan  bahwa  dia sudah  berada  didalamnya  lalu  mereka  berangkat juga dengan anggapan bahwa mereka sedang  membawa  Umm’l-Mu’minin,  isteri yang  sangat  dekat ke dalam hati Nabi. Dalam markas itu orang yang akan dapat ditanyai tidak ada.  Dia tidak merasa takut bahkan dia yakin bahwa apabila rombongan itu nanti mengetahui dia tidak ada, tentu mereka akan kembali ke tempatnya  semula.

Jadi  lebih  baik  dia tidak meninggalkan tempat itu; daripada mengarungi  padang  pasir  tanpa pedoman; ia akan sesat karenanya. Tanpa  merasa  takut, dengan berselimutkan pakaian luarnya ia berbaring di tempat itu, sambil menunggu orang yang akan datang mencarinya.

Sementara  ia  sedang  berbaring  itu,  Shafwan bin’l-Mu’attal lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat  dari  rombongan tentara  karena  harus  menunaikan  urusannya  pula.  Ia sudah pernah  melihatnya  sebelum  ada  ketentuan   hijab   terhadap isteri-isteri Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali dan surut sambil berkata: “Inna lillahi wa  inna  ilaihi  raji’un! Isteri  Rasulullah  s.a.w.?  Kenapa  sampai tertinggal? Semoga rahmat  Tuhan  juga.”  Aisyah  tidak  menjawab.  Didekatkannya untanya itu dan dia sendiri mundur sambil berkata: “Naiklah.”

Setelah  Aisyah  naik  kemudian  ia  berangkat dengan unta itu cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi  tidak terkejar  juga, karena ternyata mereka mempercepat perjalanan, ingin  segera  sampai  di  Medinah,  agar  dapat  beristirahat setelah  mengalami perjalanan yang cukup meletihkan, yang juga diperintahkan oleh Rasulullah guna menghindarkan  fitnah  yang hampir-hampir terjadi akibat perbuatan Ibn Ubayy itu.

Shafwan memasuki Medinah pada siang hari disaksikan oleh orang banyak sementara Aisyah  di  atas  untanya.  Sampai  di  depan rumahnya  dalam  rangkaian  rumah  isteri-isteri Rasul, ia pun masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa  hal  ini  akan dijadikan  buah  bibir,  atau  akan menimbulkan syak karena ia terlambat  dari  rombongan,  juga  dalam  hati   Rasul   tidak terlintas  suatu  prasangka  buruk  terhadap  Shafwan, seorang orang mukmin yang beriman teguh.

Sumber: S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah

Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980

Leave a comment