Jika dihadapan kita terdapat sebuah ayat al-Qur’an, apa yang akan kita perbuat terhadap teks suci tersebut? Paling tidak, kita akan membaca, mencoba memahami dan kemudian mencoba menafsirkannya. Bagaimana kita membaca, memahami dan menafsirkan al-Qur’an? Bagaimana seorang manusia yang lemah dan hina seperti kita dapat memahami makna sebuah ayat yang pada dasarnya merupakan “bahasa” Allah?
Al-Qur’an adalah kalamullah, yang kita tidak tahu bagaimana hakikat bentuk dan jenis kalamullah tersebut [Lihat Syihab al-Din al-Qarafi, “Syarh Tanqih al-Fusul,” Beirut, Dar al-Fikr, 1973, h. 67; Jamal al-Din al-Asnawi, “Nihayah al-Sul, Beirut”, Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1984, juz 1, h. 41; Wahbah al-Zuhaili, “Usul al-Fiqh al-Islami”, Beirut, Dar al-Fikr, 1986, h. 38-399].
Ketika Allah “mengucapkan” kalam-Nya kepada Malaikat Jibril, maka terjadilah sebuah proses pertama dari turunnya wahyu. Kalam tersebut ditangkap dan dipahami oleh Malaikat Jibril untuk kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW lewat medium bahasa Arab. Pada titik ini terjadi proses kedua, yaitu transfer dari firman Allah, yang dipahami oleh Jibril, kepada Nabi melalui medium bahasa yang dapat dipahami oleh Nabi, yaitu bahasa Arab. Ummat Islam meyakini bahwa dalam kedua proses tersebut tidak ada unsur kesalahan ataupun distorsi makna.