MEMBANGUN KHAZANAH ILMU DAN PENDIDIKAN

Belajar itu adalah perobahan …….

Antara Perang Khandaq dan Hudaibiyah (bagia I)

Posted by Bustamam Ismail on September 29, 2010

SELESAI  perang  Khandaq  dan  setelah  hukuman   dilaksanakan terhadap  Banu  Quraiza,  keadaan  Muhammad  dan kaum Muslimin sudah  makin  stabil.  Oleh  orang-orang  Arab  mereka  sangat ditakuti  sekali.  Banyak  dari kalangan Quraisy sendiri mulai berpikir-pikir: tidakkah lebih baik bagi Quraisy sendiri kalau mereka  berdamai  saja  dengan  Muhammad,  sebagai  orang yang berasal dari mereka juga dan demikian  juga  sebaliknya,  juga kaum  Muhajirin,  sebagai  pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin mereka pula.

Kaum Muslimin sekarang merasa lega setelah pihak  Yahudi  yang berada  di  sekitar  Medinah  itu  dapat  dibersihkan sehingga mereka sudah tidak  punya  arti  apa-apa  lagi.  Mereka  masih tinggal  di  Medinah  selama enam bulan lagi sesudah peristiwa itu. Mereka meneruskan hidup dalam  usaha  perdagangan,  hidup tenteram  dan  sejahtera. Iman mereka akan risalah yang dibawa Muhammad  makin   dalam   makin   patuh   mereka   menjalankan ajaran-ajarannya.  Berjalan  bersama-sama  dengan  dia  mereka menyusun suatu masyarakat Arab, dengan cara yang  belum  biasa bagi  mereka  sebelum itu. Bagaimana pun juga suatu masyarakat yang teratur harus ada, masyarakat yang punya  eksistensi  dan bersatu,  seperti  masyarakat  yang berangsur-angsur terbentuk dibawah naungan Islam.

Pada zaman  jahiliah  orang-orang  Arab itu  tidak  pernah  mengenal arti suatu organisasi yang tetap, selain daripada apa yang sudah berjalan menurut adat-istiadat. Mereka tidak  punya   suatu   ketentuan   keluarga,   suatu undang-undang   perkawinan   dan   syarat-syarat   perceraian. Hubungan suami-isteri dan anak-anak yang ada hanyalah apa yang diberikan   oleh   bawaan    iklim    yang    kadang    sangat berlebih-lebihan  dalam  bertindak  bebas,  dan kadang membawa orang justru jadi beku dan terikat, sampai-sampai  ke  tingkat perbudakan dengan segala penindasannya. Maka kini Islam datang dengan menyusun suatu masyarakat Islam yang baru tumbuh,  yang belum  lagi  punya  tradisi.  Dalam  waktu  singkat  ia  telah membukakan jalan dalam  meletakkan  bibit  sebuah  kebudayaan, yang  kemudian  tersusun terdiri dari peradaban Persia, Rumawi dan Mesir, serta di warnai dengan pola peradaban  Islam,  yang berkembang  setapak  demi  setapak  sampai   ia   mencapai kesempurnaannya tatkala firman Allah ini datang:

Hari ini Kusempurnakan bagimu agamamu ini  dan Kulengkapkan pula  nikmatKu  kepadamu, kemudian Kurelakan Islam itu menjadi agama kamu.”1

Apa pun juga pendapat orang tentang peradaban tanah Arab serta daerah  pedalamannya,  namun  sudahkah kota-kota seperti Mekah dan Medinah mempunyai peradaban yang tidak dikenal oleh daerah pedalaman,   ataukah   juga   ia  masih  berada  pada  tingkat permulaan?  Pada  dasarnya  hubungan  pria  dan  wanita  dalam masyarakat  Arab  itu  seluruhnya  –  berdasarkan  bukti-bukti Qur’an serta peninggalan-peninggalan sejarah masa itu –  tidak lebih  adalah  suatu  hubungan  jantan  dengan  betina, dengan sedikit perbedaan, sesuai dengan tingkat-tingkat kelompok  dan golongan-golongan  kabilah  masing-masing,  yang  pada umumnya tidak jauh dari  cara  hidup  yang  masih  mirip-mirip  dengan tingkatan  manusia primitif. Dalam hal ini kaum wanitanya pada zaman jahiliah yang mula-mula mempertontonkan diri, memamerkan kecantikannya  dengan berbagai-bagai perhiasan yang bukan lagi terbatas   hanya   pada   suaminya.   Mereka   pergi    keluar sendiri-sendiri atau beramai-ramai untuk keperluan yang mereka adakan  di  tengah-tengah  padang  sahara.

Di   tempat   ini pemuda-pemuda  dan  kaum  pria  lainnya  menyambut mereka, dan mereka dipertemukan dengan  kelompoknya  masing-masing.  Kedua belah  pihak  mereka  sudah tidak peduli lagi, saling bertukar pandangan, saling bercumbu dengan kata-kata yang  manis-manis, yang  membuat  si  jantan  jadi  senang  dan  si  betina  jadi tenteram. Sudah begitu melekatnya cara hubungan  demikian  itu dalam  hati  mereka,  sehingga  Hindun isteri Abu Sufyan tidak segan-segan lagi mengatakan, di tengah-tengah  peristiwa  yang sangat  genting  dan  gawat  dalam  perang  Uhud,  tatkala  ia membakar semangat pasukan Quraisy:

Kamu maju kami peluk

Dan kami hamparkan kasur yang empuk

Atau kamu mundur kita berpisah

Berpisah tanpa cinta.

Pada beberapa kabilah masa Jahiliah itu  masalah  zina  bukanlah  suatu kejahatan yang patut mendapat perhatian. Masalah cumbu-cumbuan sudah merupakan salah satu   kebiasaan   semua    orang.

Sumber-sumber sejarah menyebutkan    peristiwa-peristiwa percintaan  yang  dilakukan  Hindun  itu  –  dengan  mengingat kedudukan Abu Sufyan yang begitu kuat dan penting tidak sampai mengubah kedudukan wanita itu, baik di kalangan  masyarakatnya mau  pun  ditengah-tengah  keluarganya.  Bila  ada wanita yang melahirkan anak, dan tidak  diketahui  siapa  bapa  anak  itu, tidak  segan-segan  ia  akan  menyebutkan, laki-laki mana yang telah menjamahnya untuk kemudian menghubungkan anaknya  kepada orang yang dianggapnya paling mirip.

Juga  pada waktu itu masalah poligami dan perbudakan tanpa ada batas atau sesuatu ikatan. Laki-laki  boleh  kawin  sesukanya, boleh  mengambil  gundik  sesukanya.  Mereka  semua boleh saja beranak sesuka-sukanya. Soal  ini  tidak  penting  waktu  itu, kecuali jika dianggap sebagai rahasia yang akan terbongkar dan dikuatirkan akan membawa malu serta  apa  yang  kadang  sampai menimbulkan  ejek-mengejek. Tiada seorang yang mengetahui akan permusuhan atau  peperangan  yang  mungkin  timbul  karenanya.

Ketika  itulah  masalahnya  jadi  berubah  sama  sekali. Kalau dahulu orang melihat  semangat  cinta-berahi  dan  api  asmara telah menutupi rasa keakraban, kini hal itu telah dicabik oleh adanya  permusuhan  yang  dapat  menyebabkan   timbulnya   api peperangan  dan  semangat pertempuran, Dan bila permusuhan ini sudah berkecamuk, maka masing-masing  pihak  akan  menyebarkan desas-desus  sesuka  hati  dan akan saling menuduh sesuka hati pula. Imajinasi orang Arab itu biasanya subur sekali,  terbawa oleh    cara    hidupnya    dibawah   langit   terbuka   serta pengembaraannya dalam mencari rejeki. Ia  didorong  oleh  cara yang  berlebih-lebihan,  dan  kadang  berdusta dalam soal-soal perdagangan.

Seorang orang Arab suka sekali pada waktu  yang  terluang  dan diisinya  dengan  bercumbu.  Dalam hal ini khayalnya bertambah subur, baik  diwaktu  damai  mau  pun  waktu  perang.  Apabila diwaktu  damai  si  buyung  bertemu  dengan si upik, berbicara dengan bahasa asmara,  dengan  kata-kata  yang  sedap,  dengan pujian yang manis-manis, maka diwaktu perang dan dalam keadaan bermusuhan orang akan melihat si buyung ini juga membuka suara keras-keras   ditujukan   kepada   si  upik,  yang  dilihatnya didepannya dalam keadaan telanjang, sambil  mengata-ngatainya, misalnya,  tentang leher wanita itu, tentang dadanya, tentang payudaranya, tentang  pinggangnya,  tentang   bokongnya   dan sebagainya   dengan   cara  permusuhan  yang  beraneka  ragam.

Khayalnya itu terangsang, yang mengenal wanita  hanya  sebagai betina dan yang akan menghamparkan kasur. Kendatipun  Islam  sudah  mengikis  mental  semacam itu, namun pengaruhnya masih  saja  ada  seperti  yang  kita  baca  dalam sajak-sajak ‘Umar b. Abi Rabi’a dan sajak-sajak erotik lainnya dalam  sastra  yang   masih   terpengaruh   kepadanya,   dalam zaman-zaman  tertentu.  Meskipun  hanya  sedikit sekali, namun pengaruhnya dalam sastra masih juga terasa  sampai  pada  masa kita sekarang ini.

Bagi pembaca yang suka mengagumi Arab dan peradabannya, bahkan yang suka mengagumi Arab jahiliah sekalipun, gambaran demikian ini  barangkali  akan  terasa  agak dilebih-lebihkan. Pembaca demikian ini tentu dapat dimaafkan. Ia membandingkan  gambaran yang  kita  kemukakan ini dengan fakta yang terjadi dalam masa sekarang, dengan segala hubungannya antara pria dengan  wanita dalam  perkawinan  dan  perceraian serta hubungan suami-isteri dengan anak-anaknya. Akan  tetapi  perbandingan demikian  ini salah sekali,   yang   akibatnya  akan  sangat  menyesatkan.

Sebaliknya yang harus  dibandingkan  ialah  antara  masyarakat Arab yang salah satu seginya kita gambarkan terjadi dalam abad ketujuh  Masehi  itu  dengan   masyarakat-masyarakat   beradab lainnya  masa itu juga.

Rasanya tidak terlalu  berlebih-lebihan  kalau  kita  katakan, bahwa  masyarakat-masyarakat  Arab masa itu dengan segala yang sudah    kita    lukiskan,    jauh     lebih     baik     dari masyarakat-masyarakat lain yang sezaman, di Asia dan di Eropa. Kita tidak akan bicara tentang keadaan di  Tiongkok,  atau  di India.  Kita  belum  punya bahan-bahan yang cukup tentang itu.

Pengetahuan kita  tentang  itu  sedikit  sekali,  belum  cukup adanya.  Akan  tetapi  Eropa  Utara  dan  Eropa Barat masa itu berada dalam kegelapan, yang dapat  kita  lihat  dari  susunan keluarganya, yang memang mirip-mirip susunan manusia primitif.

Rumawi sebagai pemegang undang-undang masa itu,  sebagai  yang perkasa  dan  berkuasa, satu-satunya kerajaan yang paling kuat menyaingi   Persia,   menempatkan   kedudukan   kaum    wanita dibandingkan  dengan  prianya,  masih dibawah kedudukan wanita Arab,  sekalipun  yang  di  pedalaman.  Menurut  undang-undang Rumawi  masa  itu,  wanita adalah harta benda milik laki-laki, dapat diperlakukan sehendak hati, ia berkuasa dari soal  hidup sampai   matinya,   dipandang   persis  seperti  budak.  Dalam pandangan undang-undang Rumawi  wanita  tidak  berbeda  dengan budak. Ia menjadi milik bapanya, kemudian milik suaminya, lalu milik anaknya. Pemilikan demikian ini persis seperti  memiliki budak  atau  seperti  memiliki binatang dan benda mati. Wanita dipandangnya hanya sebagai pembangkit nafsu berahi.  Ia  tidak punya  kuasa  apa-apa terhadap sifat kebetinaannya, hingga mau tidak mau ia harus pura-pura berbuat  sopan  sedapat  mungkin, dan  ini  tetap  berlaku demikian selama berabad-abad kemudian dari apa yang sudah kita gambarkan tentang keadaan di  jazirah Arab   itu.   Padahal   Isa  Almasih  a.s.  cukup  hormat  dan lemah-lembut kepada wanita. Beberapa orang pengikutnya  merasa heran  melihat  dia  begitu  baik  terhadap  Maryam Magdalena, ketika ia berkata: “Barangsiapa dari kamu yang tidak  berdosa, lemparilah dia dengan batu.”

Tetapi Eropa yang sudah menganut Kristen  tetap  seperti  dulu juga,  seperti  Eropa  yang  masih  pagan,  sangat merendahkan wanita. Hubungannya dengan pria bukan hanya dilihatnya sebagai hubungan  jantan  dan  betina saja, bahkan dianggapnya sebagai hubungan perbudakan dan sangat hina, sehingga  pada  masa-masa tertentu   ahli-ahli  agamanya  masih  bertanya-tanya:  Apakah wanita itu punya ruh yang akan  dapat  diadili,  atau  seperti hewan  saja tanpa ruh dan tidak ada pengadilan Tuhan kepadanya dan tidak ada tempat pula di kerajaan Tuhan.

Dengan wahyu yang diterimanya Muhammad dapat menentukan, bahwa takkan  ada perbaikan masyarakat tanpa ada kerja-sama pria dan wanita, dalam arti saling bantu membantu sebagai saudara  yang penuh kasih-sayang. Hak dan kewajiban wanita sama, dengan cara yang sopan, hanya laki-laki mempunyai  kelebihan  atas  mereka itu.  Tetapi  pelaksanaannya  secara  sekaligus  tidak  mudah.

Betapa  pun  tebalnya  iman  orang-orang  Arab  yang   menjadi pengikutnya,  namun  mengajak  dengan perlahan-lahan dan tanpa menyinggung perasaan, akan lebih mempertebal iman mereka serta memperbanyak  pendukung.  Demikian juga dalam setiap reformasi sosial, yang  oleh  Tuhan  diwajibkan  kepada  kaum  Muslimin.

Bahkan   dalam   kewajiban-kewajiban   agama   sendiri:  dalam sembahyang,  puasa,  zakat  dan  haji,  demikian  juga   dalam larangan-larangannya,  seperti  minuman-minuman  keras,  judi, daging babi dan sebagainya.

Sehubungan  dengan  reformasi  sosial  ini   serta   ketentuan hubungan  pria  dan wanita, oleh Muhammad telah dimulai dengan contoh    yang    diberikannya    melalui    dirinya    dengan isteri-isterinya  yang  disaksikan  sendiri  oleh  semua  kaum Muslimin.  Masalah  hijab  (tabir)  bagi  isteri-isteri   Nabi misalnya,  sebelum  perang  Ahzab  (Khandaq) tidak diwajibkan.

Demikian juga pembatasan kepada empat orang isteri dengan syarat  adil  ditentukannya  baru sesudah perang Ahzab, bahkan lebih dari setahun setelah perang Khaibar.  Bagaimanakah  Nabi dapat  membina  hubungan yang kuat antara laki-laki dan wanita atas  dasar  yang  sehat,  sebagai  pengantar  kepada   adanya persamaan  yang  memang  menjadi  tujuan  Islam itu? Ya, suatu persamaan yang menjadikan hak dan kewajiban wanita  itu  sama, dengan  cara  yang  sopan sedang laki-laki mempunyai kelebihan atas mereka itu.

Pada mulanya hubungan pria dan wanita  di  kalangan  Muslimin, seperti  di  kalangan  Arab  lainnya  – sebagaimana sudah kita sebutkan – terbatas hanya pada  hubungan  jantan  dan  betina. Mempertontonkan  diri  dan  memamerkan  perhiasan  (berdandan) dengan cara yang akan membuat laki-laki  itu  terangsang  oleh kaum   wanita  setiap  ada  kesempatan,  berarti  akan  saling menambah  nafsu  berahi  antara  laki-laki  dengan  perempuan. Sebaliknya,  hal  yang akan lebih dapat membatasi antara kedua belah pihak itu berarti  akan  lebih  mendekatkan  orang  pada dasar  kemanusiaan  yang  lebih  tinggi,  dasar persamaan jiwa dalam beribadat, yang hanya kepada Allah semata-mata.

Dengan adanya kelompok-kelompok Yahudi dan orang-orang munafik dalam  Kota,  serta  sikap permusuhan mereka terhadap Muhammad dan terhadap kaum Muslimin, nyatanya mereka itu sampai  berani pula   menggoda   wanita-wanita  Islam  yang  akhirnya  sampai mengakibatkan dikepungnya Banu  Qainuqa’  seperti  yang  sudah kita     lihat.    Meningkatnya    gangguan-gangguan    kepada wanita-wanita Islam itu  telah  menimbulkan  problema-problema baru  yang tidak seharusnya ada. Sekiranya wanita-wanita Islam itu tidak  sampai  memamerkan  diri  berdandan  ketika  mereka keluar  rumah,  niscaya  mereka akan lebih mudah dikenal orang dan  dengan  demikian  mereka  tidak  akan  diganggu.   Adanya problema-problema  itu  pun akan dapat dikurangi dan persamaan antara kedua jenis yang dikehendaki oleh  Islam  itupun  dalam pelaksanaannya akan merupakan suatu permulaan yang baik pula – dengan tanpa dirasakan oleh kaum  Muslimin  –  baik  pria  dan wanita  – akan adanya suatu masa peralihan dalam konsepsi yang belum dibiasakan itu.

Dalam situasi yang semacam itulah firman Tuhan ini datang:

Dan mereka yang mengganggu kaum  laki-laki  dan  wanita  yang sudah  beriman, tanpa ada kesalahan yang  mereka  perbuat, orang-orang itu sebenarnya telah berbuat kebohongan dan dosa terang-terangan. Wahai Nabi, katakanlah     kepada isteri-isterimu, puteri-puterimu dan isteri-isteri orang-orang beriman, hendaklah mereka itu menutup tubuh dengan baju panjang.

Dengan demikian mereka akan lebih mudah dikenal, dan karenanya mereka tidak akan diganggu. Sungguh Tuhan adalah Pengampun dan Penyayang. Kalau pun  orang-orang  munafik,  orang-orang  yang dalam  hatinya berpenyakit dan orang-orang yang suka menghasut di dalam kota tiada juga  berhenti  (menyerang  kamu)  niscaya akan Kami dorong engkau menyerang mereka; kemudian mereka akan menjadi tetanggamu di tempat itu hanya sementara saja.  Mereka sudah  terkutuk. Di mana saja mereka berada, mereka ditangkap, dan dibunuh secara  tidak  kenal  ampun.  Begitulah  ketentuan Tuhan  terhadap  mereka  yang telah lampau, dan tidak akan ada ketentuan Tuhan itu yang berubah-ubah.” (Qur’an 33: 58-62)

Dengan  pendahuluan  demikian  itu,  tidak  sulit  bagi   kaum Muslimin  dalam  meninggalkan  adat kebiasaan Arab dahulu kala itu. Demikian juga yang  menjadi  tujuan  hukum  Islam  dengan penyusunan  masyarakat  atas  dasar  keluarga yang bersih dari segala  hama  sehingga  masalah  zina  itu  dianggap   sebagai kejahatan   besar,   telah  mempermudah  setiap  Muslim  untuk menilai, bahwa wanita yang mempertontonkan  diri  kepada  pria adalah  suatu  perbuatan  tercela,  sebab  hubungan  laki-laki dengan wanita tidak mengijinkan hal yang serupa itu. Dalam hal ini Tuhan berfirman:

Katakanlah   kepada  laki-laki  yang  beriman  supaya  mereka menahan  penglihatan  dan  menjaga  kehormatan  mereka.   Yang demikian   akan   lebih  bersih  buat  mereka.  Sungguh  Tuhan mengetahui benar apa yang kamu perbuat. Juga katakanlah kepada wanita-wanita  yang beriman supaya mereka menahan penglihatan, memelihara  kehormatan  dan  tiada  menonjolkan   perhiasannya (dandanan)  selain  yang  memang  nyata  kelihatan.  Hendaklah mereka menyampaikan tutup  itu  ke  bagian  dada;  dan  jangan menonjolkan  dandanan  itu  selain  kepada  suami,  bapa, bapa suami, anak-anak saudara, anak-anak suaminya,  saudara-saudara atau  anak-anak  saudara,  anak-anak suaminya, saudara-saudara atau  anak-anak  saudara,  anak-anak  saudara  perempuan  atau sesama  wanita,  yang  menjadi  miliknya  atau pelayan-pelayan laki-laki yang sudah tidak punya keinginan atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita dan jangan pula menggerak-gerakkan kaki supaya perhiasannya  yang  tersembunyi  diketahui  orang. Orang-orang  beriman, hendaklah kamu sekalian bertaubat kepada Allah kalau-kalau kamu berhasil.” (Qur’an 24: 30-31)

Demikianlah prakteknya dalam Islam. Hubungan pria  wanita  itu berkembang  setapak  demi setapak meninggalkan yang lama. Jadi hubungan  jantan-betina  yang  dikuatirkan  akan   menimbulkan fitnah,   tak   ada  lagi.  Sedang  mengenai  keperluan  hidup sehari-hari  lainnya  dan  yang   mengenai   segala   hubungan pria-wanita,  maka  dalam  semuanya  adalah  sama, semua hamba Allah, semua bekerja-sama untuk kebaikan  dan  untuk  bertaqwa kepada  Allah.  Apabila  ada  pihak  yang  sudah terlanjur mau membangkitkan nafsu kelamin, baik laki-laki atau wanita,  maka orang  itu  harus  bertaubat kepada Tuhan. Tuhan Maha Pemurah, dan Pengampun.

Akan tetapi untuk mengubah semua itu, untuk mengalihkan mental Arab  dari  semua  pendirian  lama  –  seperti  halnya  dengan pendirian tentang keimanan kepada  Allah  Yang  Maha  Esa  dan meninggalkan  kepercayaan  syirik – ke dalam mental yang baru, tidak akan cukup dalam waktu  yang  begitu  singkat.  Hal  ini sudah  wajar  sekali.  Benda  yang  sudah  diacu  dalam bentuk tertentu misalnya, tidak akan mudah mengubahnya,  kalau  tidak dengan  sedikit  demi  sedikit.  Dan  bagaimana pun diusahakan mengubahnya namun yang akan dapat berubah tidak seberapa juga.

Begitulah   halnya   hidup   manusia  yang  hidup  serba-benda (materialistis). Ia dibentuk oleh  adat-kebiasaan  yang  sudah turun-temurun,   oleh   tradisi   lingkungan  dalam  soal-soal hidupnya. Apabila dikehendaki adanya sesuatu  perubahan,  maka dalam memindahkan perubahan itu harus dengan berangsur-angsur, dan perubahan yang berangsur-angsur  ini  tidak  akan  terjadi kalau  tidak  mengubah  diri-sendiri.  Adakalanya  orang dapat mengubah  dalam  arti  mental  dari  satu  segi  saja   dengan menghilangkan  rintangan  yang  mungkin ada di hadapannya. Hal ini  sudah  dapat  dilakukan  Islam  terhadap  kaum   Muslimin sehubungan dengan tauhid serta iman kepada Allah, kepada Rasul dan hari kemudian. Akan tetapi masih banyak  segi-segi  mental Arab  itu  yang  belum  lagi  dapat  di tembus, terutama dalam soal-soal  hidup  kebendaan.  Oleh  karenanya   keadaan   kaum Muslimin   ketika  itu  tetap  tidak  begitu jauh dari suasana sebelum  Islam.  Mereka  serba  lamban,  karena  memang  sudah menjadi  bawaan  cara  hidup  padang pasir, dan sudah terbiasa pula suka bicara dengan wanita.

Jadi apa yang sudah kita  kemukakan  mengenai  perubahan  yang dibawa  oleh  agama  baru  itu terhadap pandangan hidup mereka tentang hubungan laki-laki dengan perempuan, namun selain  itu keadaan  mereka  masih  seperti  dahulu juga, atau mirip-mirip begitu. Banyak  diantara  mereka  itu  yang  mau  begitu  saja memasuki   rumah   Nabi,  kemudian  mau  duduk-duduk  dan  mau mengobrol dengan Nabi  dan  dengan  isteri-isterinya.  Padahal persoalan-persoalan  kenabian  yang begitu besar lebih penting daripada  membiarkan  Muhammad  sibuk  menghadapi  pembicaraan mereka  yang  datang mengunjunginya itu, serta mereka yang mau mengobrol   dengan   isteri-isterinya dan yang kemudian pembicaraan-pembicaraan mereka itu  dibawa  kepadanya.  Oleh karena itu AIlah  menghendaki  supaya  Nabi  dihindarkan  dari soal-soal  kecil  semacam  itu,  maka  ayat-ayat  berikut  ini datang:

“Orang-orang yang beriman! Janganlah kamu masuk ke dalam rumah Nabi,  kecuali  bila diijinkan dalam menghadapi suatu hidangan makan yang bukan sengaja mau mengintip-intip untuk itu. Tetapi bila  kamu  diundang, hendaklah kamu masuk. Maka apabila sudah selesai  hendaklah  kamu  pergi,  dan  jangan  mau enak-enak mengobrol. Sesungguhnya yang demikian itu sangat mengganggu Nabi, tetapi dia malu kepada kamu,  sedang  Allah  tidak  akan malu  dalam  hal  kebenaran. Dan apabila ada sesuatu yang kamu minta dari mereka (isteri-isteri Nabi), mintalah dari belakang tirai.  Hal  ini  akan  lebih  bersih dalam hati kamu dan hati mereka. Tiada semestinya kamu akan mengganggu Rasulullah, juga jangan  pula  kamu  akan  mengawini  janda-jandanya setelah ia wafat; sebab yang demikian itu dipandang Tuhan sebagai  (dosa) yang besar.” (Qur’an, 33: 53)

Seperti   halnya   ayat-ayat   ini   turun   ditujukan  kepada orang-orang yang  beriman  dan  yang  juga  sebagai  bimbingan kepada  mereka  mengenai  kewajiban  mereka  terhadap Nabi dan isteri-isterinya,  juga  kedua  ayat  berikut  ini  pun  turun ditujukan kepada isteri-isteri Nabi dalam hal yang sama pula:

“Wahai    isteri-isteri   Nabi.   Kamu   tidak   sama   dengan wanita-wanita  lain.  Kalau  kamu  berbakti  (kepada   Allah), janganlah  kamu  berlemah-lembut dalam kata-kata, nanti timbul keserakahan orang yang  hatinya  berpenyakit  (jahat).  Tetapi katakanlah  dengan  kata-kata  yang  baik-baik  saja.  Tinggal sajalah kamu di dalam rumah. Jangan kamu mempertontonkan  diri seperti  kelakuan  orang  zaman  jahiliah  dahulu.  Lakukanlah sembahyang, keluarkan  zakat  serta  patuh  kepada  Allah  dan RasulNya.  Sesungguhnya  Allah  hendak menghilangkan noda dari kamu, keluarga Nabi, dan membersihkan  kamu  sungguh-sungguh.” (Qur’an, 33: 32-33)

Sumber: S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL

diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah Penerbit PUSTAKA JAYA

Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980

One Response to “Antara Perang Khandaq dan Hudaibiyah (bagia I)”

  1. […] Antara Perang Khandaq dan Hudaibiyah (bagia I) […]

Leave a comment