MEMBANGUN KHAZANAH ILMU DAN PENDIDIKAN

Belajar itu adalah perobahan …….

Taufiq Ismail; Ketika Sastrawan Jadi Datuk

Posted by Bustamam Ismail on March 30, 2009


taufikPANDAI SIKEK- Apa persamaan Taufiq Ismail, Marah Rusli dan Asrul Sani? Sama-sama urang awak dan sama-sama dokter hewan. Yang pasti sama-sama sastrawan terkenal. Apa persamaan Taufik dengan Aman Datuk Majo Indo? Sama-sama datuk dan juga sama-sama urang awak.
Memang, Jumat pekan lalu, di bawah tatapan langit Pandai Sikek, sastrawan nasional Dr. Taufiq Ismail dianugerahi gelar Datuk Panji Alam Khalifatullah.  Gelar kehormatan dianugerahkan pangulu nan sapuluah dari Suku Koto Sungai Gurah, Jumat (27/3), di Rumah Gadang suku itu, Jorong Baruah, Nagari Pandai Sikek, Kecamatan X Koto, Tanah Datar.
“Terima kasih. Alhamdulillah. Saya akan sandang amanah gelar ini dengan sebaik-baiknya. Saya bangga kepada Nagari Pandai Sikek. Saya akan terus memperhatikan nagari yang indah ini. Kini, dua pekan dalam sebulan, insya Allah, saya akan terus berada di kampung halaman mencurahkan perhatian, sesuai dengan bidangnya.

Menurut Taufiq, gelar Datuk Panji Alam Khalifatullah mengandung makna dan amanah yang demikian mendalam. Khalifatullah, sebutnya, adalah menjadi wali Allah di muka bumi guna menegakkan panji-panji kebenaran sesuai dengan tuntunan Alquran dan Sunnah. “Khalifatullah bukan saja sebagai penghormatan, tetapi juga mengingatkan saya dan kita semua akan tugas yang diemban selaku hamba Allah,” ucapnya.
Sementara panji alam, tegas pendiri Rumah Puisi itu, melambangkan bendera, mewakili perasaan yang paling dalam dan mengandung pemikiran-pemikiran positif dan konstruktif untuk alam alam semesta.
Drs. Alfiar Dt. Tunaro Nan Balimau Sundai, M.Pd, mewakili niniak mamak pangulu nan sapuluah dalam sambutan usai penetapan gelar untuk Taufiq menyatakan, gelar yang dianugerahkan harus disandang dengan penuh amanah. Taufiq, kata Alfiar, adalah putra kebanggaan Pandai Sikek yang dipersembahkan untuk bangsa Melayu dan dunia sastra.
“Anak kemenakan yang pergi merantau jauh itu kini sudah kembali. Kita bangga dengan Taufiq. Semoga beliau bisa memberikan kontribusi pemikiran positif untuk membangun dan mengembangkan nagari demi kesejahteraan,” kata Alfiar.

Riwayat hidup

Taufiq Ismail adalah putra kedua pasangan Tinur Muhammad Nur (1914-1982) asak Pandai Sikek dengan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Jambu Air, Bukittinggi. Putra pertama pasangan ini bernama Taufiq Ismail, dilahirkan di Pekalongan pada 2 Februari 1934. Seminggu kemudian, Taufiq Ismail bayi ini meninggal dunia.
Ketika hamil kedua, Tinur dipanggil oleh ibu dan mertuanya di Pandai Sikek dan Jambu Air, agar melahirkan di kampung halaman. Akhirnya, pada 25 Juni 1935, wanita yang merupakan tamatan pertama Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat.
Kabar kelahiran putranya dikabarkan oleh Tinur kepada suaminya di Pekalongan sekalian menanyakan nama yang akan dilekatkan pada bayi yang baru lahir tersebut. “Bernama nama Taufiq pada anak kita,” jawab A. Gaffar Ismail  yang merupakan alumni Perguruan Thawalib Parabek melalui telegram.
“Jan diagiah namo anak nan alah mati. Singkek umuanyo baiko (jangan diberi nama anak yang sudah meninggal dunia. Nanti umurnya singkat),” demikian reaksi yang muncul menyatakan ketidaksetujuan atas nama yang diberikan ayahnya, karena dianggap bayi ini akan cepat menyusul abang sulungnya yang meninggal dunia.
Reaksi itu pun kembali dilaporkan ke Pekalongan. Telegram balasan datang: “Tetap nama anak kita Taufiq. Allah yang menentukan panjang pendek umur, bukan nama.” Demikianlah rasa tauhid dalam praktek kehidupan disampaikan kepada masyarakat, melawan tahyul dan tradisi yang tidak Islami. Kendati dikhawtirkan berumur singkat karena memakai nama anak yang telah meninggal, namun faktanya menunjukkan bukti lain, bayi itu kini telah mencapai usia 73 tahun.
Taufiq Ismail menjalani pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Solo, Semarang dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, SMA di Pekalongan dan Whitefish Bay, Wisconsin, Amerika Serikat. Dia bercitga-cita menjadi sastrawan sejak kecil, dan untuk menopang nafkah sebagai sastrawan, dia ingin memiliki usaha peternakan. Karena itu, dia kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia (kini bernama Institut Pertanian Bogor), tamat 1963. Taufiq ternyata gagal jadi pengusaha ternak, tetapi berjasil menjadi penyair.
Taufiq adalah salah seorang pendiri majalah sastra Horison pada 1966. Kini dia menjabat sebagai redaktur senior pada majalah kenamaan itu. Taufiq tercatat sebagai seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1968. Dia telah menulis 14 judul buku sastra sejak tahun 1966. Bersama Himpunan Musik Bimbo, Ian Antono, Chrisye, Dwiki Darmawan dan lain-lain, Taufiq telah menelorkan hampir 100 judul lagu.
Sebagai akumulasi kegiatannya meningkatkan budaya baca buku dan kemampuan menulis generasi muda bangsa Indonesia selama 10 tahun terakhir, akhirnya pada Desember 2008 Taufiq bersama istrinya Ati Ismail mendirikan Rumah Puisi di Nagari Aia Angek, Kecamatan X Koto, Tanah Datar.
Beliau banyak menerima anugerah gelar sebagai sastrawan, di antaranya berasal dari pemerintah Republik Indonesia, Australia, Thailand dan Malaysia. Taufik meraih gelar doktor honoris causa Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2003 dalam pendidikan sastra, dan dari Universitas Indonesia pada tahun 2009 dalam bidang sastra.
Bersama delapan tokoh masyarakat lainnya, Taufiq Ismail juga mendapat anugerah gelar Tuanku Pujangga Diraja dari Kerajaan Pagaruyung pada tahun 2009 ini, sebagai penghargaan atas kontribusinya dalam karya sastra.***

Taufiq Ismail (lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935; umur 73 tahun) ialah seorang sastrawan Indonesia.

Dilahirkan di Bukittinggi dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.

[sunting] Kegiatan

Semasa kuliah aktif sebgai Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).

Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.

Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan ’66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.

Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.

Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru memperoleh tubuh yang lengkap jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.

Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia(Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.)

Penghargaan

Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, AS (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).

sumber: Laporan Musriadi Musanif

Leave a comment